Sabtu, 10 November 2012

Revolusi Pertanian


Revolusi Pertanian Oleh Orang Islam

Dunia pertanian dan perkembangannya saat ini tidak lepas dari fondasi dan capaian ilmu pertanian oleh para petani dan pakar pertanian di era keemasan Islam, 12 abad silam. Para ilmuwan Barat seperti Vaux, Mc Cabe, Bolens, Watson, Scott, dan Artz, mengakui kontribusi umat Islam ini. Mereka menyebutkan, pada awal abad ke-9, sistem pertanian modern telah menjadi urat nadi kehidupan ekonomi dan segala aktivitas di negeri-negeri Muslim. Kota-kota besar Islam, baik di Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Spanyol, telah didukung oleh sistem pertanian yang canggih. Para petani saat itu telah mengembangkan teknik-teknik pengolahan tanah, sistem irigasi, pemuliaan tanaman dan ternak, serta cara-cara mengatasi hama dan penyakit tanaman.
Dalam artikel berjudul Muslim Contribution to Agriculture yang dipubliksikan oleh Foundation for Science Technology and Civilisation menyebutkan, pada masa itu orang-orang Islam telah mengembangkan peternakan domba, kuda, menanam bunga, serta memelihara kebun-kebun buah dan sayuran. Ada juga jeruk, tebu, sutra, kapas, bakung, persik, plum, tulip, mawar, melati, dan tanaman lainnya. Baron Carra de Vaux, orientalis dari Prancis, menyebutkan sejumlah tanaman dan hewan dari Timur dibawa ke Spanyol oleh umat Islam untuk beragam keperluan. Tanaman dan hewan itu tidak hanya untuk keperluan pertanian dan peternakan, tapi juga untuk pengembangan perkebunan, perdagangan, dan status sosial. Vaux memaparkan, beberapa tanaman penting yang diperkenalkan oleh umat Islam di Spanyol, antara lain kapas dan tebu. Kapas mulai dibudidayakan di Spanyol (Andalusia) pada akhir abad ke-11. Perkebunan kapas di Andalusia ini berkembang pesat sehingga wilayah ini menjadi penghasil kapas ternama dan mampu mengekspor kapas ke berbagai daerah.
Para petani Muslim saat itu telah mengetahui cara membasmi insektisida, hama, dan penyakit tanaman lainnya. Mereka juga sudah menerapkan teknologi pengolahan tanah, teknik pemupukan, dan cara-cara untuk menyuburkan tanah. Bahkan mereka bisa 'menyulap' padang pasir menjadi perkebunan. Negeri-negeri Arab yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan kering dan padang pasir mampu dijadikan lahan-lahan pertanian berkat teknologi dan sistem irigasi yang baik. Begitu pun di Andalusia. Para petani menerapkan teknik irigasi dan membangun saluran-saluran irigasi untuk pengembangan pertaniannya. tidak cuma itu, mereka juga pakar di bidang persilangan dan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas tanaman baru, mencangkok, dan teknik-teknik pengembangbiakan tanaman lainnya. Karenanya tidak mengherankan jika saat itu kota-kota Islam mampu memenuhi kebutuhan penduduknya dengan beragam buah-buahan dan sayuran yang sebelumnya tidak dikenal di negara-negara Barat (Eropa). Itulah revolusi pertanian yang diperkenalkan oleh orang-orang Islam.
Revolusi pertanian untuk memperkenalkan tanaman-tanaman baru serta perluasan dan intensifikasi irigasi telah menciptakan sistem pertanian yang kompleks dan beragam. Lahan-lahan yang semula hanya menghasilkan satu jenis tanaman setiap tahun, oleh para petani Muslim 'disulap' bisa ditanami 2-3 jenis tanaman secara rotasi. Akibatnya produksi pertanian meningkat dan kebutuhan penduduk perkotaan yang jumlahnya terus meningkat dapat tercukupi.
Sementara Joseph Mc Cabe, cendekiawan berkebangsaan Inggris, mengatakan, di bawah kekuasaan Islam, Andalusia menjelma menjadi daerah perkebunan yang subur. Di sepanjang Guadalquivir, Spanyol, terdapat 12 ribu desa yang memiliki lahan pertanian subur. Para petani Muslim mengerjakan sendiri lahan-lahan perkebunan itu. Hal ini berbeda dengan saat Andalusia dikuasai oleh orang-orang Kristen dimana perkebunan digarap oleh para budak. Begitu juga tanah-tanah pertanian di Mesir dan Irak. Para ahli mengungkapkan, di Provinsi Fayyum, Mesir, terdapat 360 desa yang masing-masing dapat menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk seluruh Mesir. Sebuah sensus yang dilakukan pada abad ke-8 di Mesir menyebutkan, dari 10 ribu desa di Mesir, tak ada satu desa pun yang memiliki bajak (alat untuk mengolah tanah) kurang dari 500 unit. Inilah bukti Mesir telah menjadi wilayah pertanian yang maju di abad ke-8.
Sementara di sepanjang Sungai Tigris, Irak, terdapat 200 desa yang pertaniannya juga maju. Kekhalifahan Islam membangun dan memelihara saluran-saluran irigasi untuk pertanian. Air dari Sungai Efrat dialirkan ke Mesopotamia, sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Dengan demikian para petani bisa memperoleh air irigasi untuk pertaniannya. Tak hanya itu, Kekhalifahan Abbasiyah memelopori pengeringan rawa-rawa untuk lahan pertanian. Mereka juga memperbaiki ladang yang mengering. Tak heran jika kemudian Irak dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan terkemuka saat itu. Tidak heran jika Irak dijuluki surga dunia.
Kehadiran negeri-negeri Islam menjadi wilayah pertanian yang maju, tak lepas dari kontribusi para ahli/pakar pertanian Muslim. Mereka menulis buku-buku tentang pertanian yang menjadi referensi para petani dalam bercocok tanam. Riyad al-Din al-Ghazzi al-Amiri, ahli pertanian dari Damaskus, Syriah, menulis buku tentang pertanian yang sangat rinci. Mulai dari jenis lahan pertanian, cara memilih tanah yang baik, jenis-jenis pupuk, pembibitan, pencangkokan tanaman, penanaman, hingga saluran irigasi. Ia juga menulis tentang budidaya serealia, kacang-kacangan, umbi-umbian, sayuran, bunga, dan tanaman lainnya.
Sedangkan Abu'l Khair, ahli pertanian dari Andalusia, menulis Kitab Al-Filaha, sebuah kitab yang menjelaskan hal ihwal pertanian. Dalam kitabnya, ia menerangkan empat cara menampung air hujan untuk keperluan pertanian dan cara membuat irigasi untuk pertanian. Secara khusus ia menerangkan cara penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun. Abu'l Khair juga menjelaskan tentang proses pembuatan gula. Sementara Al-Tignari, ahli agronomi dari Andalusia, membuat referensi tentang tanaman-tanaman yang mampu memberi keuntungan besar bagi usaha pertanian. Tanaman itu antara lain tebu dan kapas.
Selain itu ada juga ilmuan islam di bidang peternakan khususnya di bidang zoologi (ilmu tentang hewan) yaitu Ibnu Al Muqaffa. Ibnu Al Muqaffa wafat pada tahun 757 adalah pengarang kitab Al Hayawan atau kitab tentang Binatang/Ensiklopedia tentang Hewan. Lalu Abdulmalik bin Quraib Al-Asma'i . Abdulmalik bin Quraib Al-Asma'i (Basra, 740-828) merupakan seorang ilmuwan bidang zoologi, botani, dan penjagaan hewan. Tulisannya yang terkenal di antaranya Kitab Ibil, Kitab Khalil, Kitab Wuhush, Kitab Sha, dan Kitab Khalqal Insan. Buku terakhirnya tentang anatomi manusia membuktikan pengetahuannya yang mendalam dan luas mengenai bidang tersebut. Minat dalam pemuliaan/peternakan kuda dan unta mendorong kepada hasil kerja ilmiah sistematik oleh orang Arab seawal abad ke-7. Ketika pemerintahan Khalifah Umayyad, klasifikasi dan sifat hewan dan tumbuhan dikaji dan dicatat oleh beberapa ilmuwan. Hasil kajian Al-Asmai amat popular dikalangan ilmuwan pada abad ke-9 dan abad ke-10.
€Abdul Malik bin Quraib al-Asma’i ialah sarjana pertama yang mengkaji ilmu alam dan zoologi (ilmu hewan). Beberapa buah pikirannya yang sangat terkenal mengupas tentang hewan, yakni Kitab al-Khayhl, yang membahas seluk beluk kuda. Selain itu, ia juga menulis Kitab Al-Ibil yang mengupas tentang unta, Kitab ash-Sha’ tentang kambing, dan Kitab al-Wuhush tentang hewan liar. Abdul Malik juga mengkaji manusia melalui Kitab Khalq al-Insan. Ia juga tercatat sebagai ilmuwan pertama yang mempelajari anatomi manusia. Salah satu kitabnya yang sangat fenomenal adalah Kitab al-Asma’i yang masih menjadi rujukan ilmuwan di
Austria pada paruh kedua abad ke-19 M.  Dan masih banyak lagi ilmuaan-ilmuan muslim pada bidang pertanian peternakan dan bidang zoologi lainnya.

Tidak ada komentar: