Minggu, 14 April 2013

Semple research


PENAMBAHAN  TAUGE KACANG HIJAU (Vigna radiata) DALAM
RANSUM TERHADAP SIFAT REPRODUKSI  MENCIT PUTIH (Mus musculus).

PENDAHULUAN

Mencit merupakan hewan mengerat berukuran lebih kecil daripada tikus dan  sering digunakan sebagai hewan percobaan. Alasan terpenting digunakannya mencit  sebagai hewan percobaan adalah mencit memiliki kesamaan secara fisiologis dengan  hewan lainnya terutama hewan mamalia sehingga sangat cocok untuk digunakan sebagai hewan penelitian. Keunggulan lainnya antara lain mudah dalam penanganan,  siklus hidup pendek, pengadaan hewan ini tidak sulit dan pola reproduksinya yang  singkat.
            Pakan merupakan faktor terpenting dalam pemeliharaan hewan, karena itu
perlu dilakukan pengembangan untuk menghasilkan pakan yang lebih efisien. Salah  satu cara yang biasa dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah memodifikasi  pakan dengan penambahan bahan tertentu agar mendapatkan produksi yang optimal.  Bahan yang berasal dari alam baik untuk digunakan sebagai pakan karena jarang  menimbulkan residu di tubuh, namun dapat meningkatkan metabolisme.
Tauge kacang hijau (Vigna radiata) dipercaya sebagai bahan pangan yang mampu  mempertahankan fertilitas pada pejantan. Hal tersebut terkait dengan kandungan antioksidan  vitamin E yang dominan disamping antioksidan lain seperti vitamin C dan selenium.  Antioksidan berfungsi melindungi sel dari serangan radikal bebas pada saat Spermatogenesis.
TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf penambahan Tauge kacang hijau (Vigna radiata) dalam ransum terhadap sifat reproduksi mencit,  sehingga didapatkan taraf optimum penggunaannya.

MANFAAT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia peternakan,  dimana Tauge kacang hijau (Vigna radiata)  sebagai pakan dapat meningkatkan sifat reproduksi mencit dan mungkin dapat juga memberikan respon yang sama pada  ternak lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tauge             kacang hijau (Vigna radiata)

      Merupakan kecambah yang berasal dari biji  kacang hijau. Perkecambahan tersebut menyebabkan tauge kacang hijau kaya dengan zat  yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Sayuran yang terbentuk melalui proses  perkecambahan ini ternyata dapat mencegah berbagai macam penyakit dan mampu  mempertahankan fertilitas pada individu jantan (Astawan, 2003). Perubahan bentuk dari biji menjadi tauge ditujukan untuk diversifikasi produk serta meningkatkan nilai gizi yang terkandung. Tauge mempunyai vitamin lebih banyak dibandingkan dengan bentuk bijinya. Selama berkecambah, kadar vitamin B meningkat 2,5 sampai 3 kali lipat. Demikian juga dengan vitamin E, mengalami peningkatan dari 24-230 mg per 100 gram biji kering menjadi 117-662 mg per 100 gram kecambah. Vitamin C yang tidak terdapat dalam biji kedelai, mulai terbentuk pada hari pertama berkecambah hingga mencapai 12 mg per 100 gram setelah 48 jam (Anonim, 2010).
Pemanfaatan tauge kacang hijau sudah banyak dijumpai pada berbagai makanan  karena dipercaya mampu mempertahankan fertilitas. Kemampuan tersebut berhubungan  dengan adanya kandungan vitamin E yang cukup potensial disamping kandungan zat  lainnya (Astawan, 2003). Mekanisme kerja vitamin E, C dan selenium dalam menangkal terbentuknya radikal bebas pada membran sel yaitu, vitamin E sebagai antioksidan utama akan memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal bebas yang terbentuk pada membran sel. Hal  tersebut menyebabkan terbentuknya radikal vitamin E yang bersifat stabil. Radikal  vitamin E yang terbentuk diubah oleh vitamin C sehingga menyebabkan terbentuknya radikal vitamin C yang kemudian oleh selenium melalui induksi glutation peroksidase akan menetralkan vitamin C di dalam sel (Qauliyah, 2006)


B.            Mencit (Mus musculus)

Mencit merupakan hewan yang paling umum digunakan sebagai hewan  percobaan terutama dalam penelitian-penelitian yang dipelihara secara intensif  didalam laborotorium. Menurut Arrington (1972), mencit adalah hewan yang paling  banyak (40-80%) digunakan sebagai hewan percobaan laboratorium. Keunggulan  mencit sebagai hewan percobaan adalah sangat produktif dalam menghasilkan  keturunan dan pengelolaannya sangat mudah karena ukurannya yang kecil. Menurut  Moriwaki et al. (1994), beberapa keunggulan mencit sebagai hewan percobaan  adalah siklus hidupnya relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi  sifat-sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan reproduksinya  menyerupai hewan mamalia lain.
Menurut Storer et al. (1979), urutan taksonomi dari mencit adalah termasuk kedalam Filum Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Genus  Mus, Spesies Mus musculus. Menurut Sumantri (1984), mencit putih memiliki bulu  pendek halus berwarna putih dan ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda dapat  disebabkan perbedaan dalam kondisi proporsi darah mencit liar dan memiliki  kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu, 1996).

C.    Sifat Reproduksi Mencit

Mencit memiliki sifat reproduksi yang tinggi yaitu polyestrus dan mengalami  oestrus post partum 14-28 jam setelah partus yang dapat dimanfaatkan untuk  meningkatkan produksi anak. Namun, jika induk langsung dikawinkan setelah  partus atau beranak maka dapat mengakibatkan kebuntingan yang lebih lama 3-5 hari  daripada lama kebuntingan sebelumnya dan kebuntingan terjadi pada saat induk  masih menyusui anak (Malole dan Pramono, 1989). Faktor lain yang dapat  mempengaruhi sifat reproduksi mencit adalah umur induk. Umur induk merupakan  faktor yang sangat menentukan terhadap jumlah sel telur dan respon hormon yang  dihasilkan (Sunarti, 1992). Ditambahkan oleh Day et al. (1991), bahwa penurunan  fertilitas dan jumlah anak per kelahiran terjadi pada mencit yang mengalami siklus  estrus tidak teratur saat umur setengah tua.

D.    Kebutuhan Pakan dan Minum Mencit

Ransum adalah makanan yang disediakan bagi hewan untuk kebutuhan 24
jam. Pakan seimbang adalah porsi makanan yang mengandung zat makanan yang  cukup untuk hidup pokok, pertumbuhann dan reproduksi (Anggorodi, 1985).  Aktivitas reproduksi membutuhkan energi yang lebih banyak dan diikuti dengan  peningkatan kebutuhan pakan suatu hewan, begitu pula sebaliknya ketersediaan  pakan dapat mempengaruhi proses reproduksi. McDonalds et al. (1995), berpendapat  bahwa malnutrisi juga berpengaruh pada induk sebab makanan untuk fetus  didapatkan dari induk. Jika induk kekurangan nutrisi untuk calon anak, maka nutrisi  itu akan dirombak dari tubuh induk, karena fetus merupakan prioritas utama untuk  penyaluran zat-zat makanan. Apabila hal tersebut terus terjadi maka kebutuhan  nutrisi calon anak pun menjadi tidak tercukupi dan dapat mengganggu perkembangan fetus.
            Malole dan Pramono (1989), menyatakan bahwa seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi pakan 15 g/100 g bobot badan/hari, sedangkan mencit membutuhkan  pakan berkadar protein diatas 14%. Mencit bunting atau sedang menyusui akan  makan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan gizi fetus dan kebutuhan dirinya  sendiri. Konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan,  karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan akan meningkat pula, sehingga  mampu menampung pakan dalam jumlah yang lebih banyak.   Komposisi zat-zat makanan dalam ransum yang diperlukan untuk memenuhi  kebutuhan mencit adalah protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, kadar pati 44- 55%, kadar serat kasar maksimal 4% dan kadar abu 5-6% (Smith dan  Mangkoewidjojo, 1988). Faktor lainnya yang juga sangat penting bagi mencit yaitu  air minum. Air minum yang diberikan untuk mencit harus bersih dan selalu tersedia  setiap saat ( ad libitum ) karena mencit mudah sekali kehilangan air dari tubuhnya.  Air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit per hari berkisar antara 4-8 ml  (Malole dan Promono, 1989).

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 20123 , di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang

Materi

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 ekor mencit putih  (Mus musculus) lepas sapih yang terdiri dari 5 ekor jantan dan 5 ekor betina  (dewasa kelamin) dengan perkiraan bobot badan awal 18-35 g. Peralatan yang  digunakan adalah timbangan elektrik dengan ketelitian 0,01 g, kotak kaca untuk  penimbangan mencit, drum penampung air, botol minum, sikat botol, gunting, sarung  tangan, masker, pinset dan alat tulis sedangkan bahan yang digunakan adalah sekam  padi.
Kandang yang digunakan berukuran 20x20 cm yang berisi 2 ekor jantan dan 2 ekor betina tiap kandangnya, sedangkan untuk kandang kontrok didisi 2 ekor mencit jantan dan betina. Pakan yang diberikan adalaha ransum biasa sebagai kontrol sedangkan pada perlakuakn diberi campuran Tauge kacang hijau (Vigna radiata) dengan kadar 10 % dan 20 %.  Dengan asumsi sebagai berikut:
Ransum kontrol ( R1)
Ransum kontrol + penambahan Tauge kacang hijau (Vigna radiata) 10 % (R2)
Ransum kontrol + penambahan  Tauge kacang hijau (Vigna radiata) 20% (R3)
Kemudian Mengamati setiapa hari tingkah laku reproduksi mencit, dan mengamati kelompok mana yang buntig terlebih dahulu, penelitian dilakukan selama kurang lebih 35 hari. Serta mengamati litter size pada kelahiran ditiap kelompok.

MODEL PERCOBAAN

Rancangan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penambahan Tauge kacang hijau (Vigna radiata)  pada ransum terhadap sifat reproduksi mencit adalah Rancangan Acak  Lengkap (RAL). Perlakuan yang diteliti adalah pakan kontrol dengan taraf  penambahan ampas Tauge kacang hijau (Vigna radiata) 10% dan 20 % masing-masing dengan dua ulangan.
Model matematik menurut Walpole (1995) ;
 Yij: µ + i + εij
Keterangan :
 Yij : respon atas pengaruh pakan ke-i, ulangan ke-j
 µ : rataan umum
i : pengaruh taraf pemberian Tauge kacang hijau (Vigna radiata) dalam pakan yang ke-i ; 1=0;
2=3; 3= 6; dan 4 = 9%
εij : galat percobaan ; γ = 1, 2, 3, 4, 5.
Analisis Data
 Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa sidik ragam atau Analysis of  Variance (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk  mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut ( Mattjik dan Sumertejaya, 2002 ).

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Astawan, M. 2003. Mari Ramai-Ramai Makan Tauge. www.gizi.net. 8 April 2013.

Arrington, L. R. 1972. Introductory Science Laboratory Animal. The Breeding, Care  and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers  and Publishing, Inc. New York.

Day, J. R., P. S. Lapolt, T. H. Morales, and J. K. H. Lu. 1989. An abnormal pattern  of embrionic development during early pregnancy in aging Rats. Biology  Reproduction. 41: 933-939.

McDonald, D. P., R. A. Edwards, J. F. Greendhalgh, and C. A. Morgan. 1995.
Animal Nutrition. 5th.Edit. Longman Scientific and Technical Copublished
with John Wiley and Sons, Inc., New york.

Malole, M.B. dan C.S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di  Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal  Tinggi. Pusat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Moriwaki, K., T. Shiroishi dan H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its   Aplication to Biomedical Research. Japan ScientificSocieties Press. Karger,  Tokyo.

Nafiu, L. O. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum  berprotein rendah. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Qauliyah.2006.Mekanisme Kerja Beberapa Antioksidan. http://astaqauliyah.blogspot.com. 8 April 2013.

Smith, B.J. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan  Hewan Percobaan di Daerah Tropis.UI-Press, Jakarta.

Sumantri, C. 1984. Aspek Genetika Beberapa Sifat Produksi Mencit (Mus musculus).  Skripsi. Fakultas Peternakan. Instituit Pertanian Bogor, Bogor.

Sunarti. 1992. Pengaruh umur induk terhadap perkembangan awal embrio mencit  (Mus musculus albinos) hasil superovulasi. Tesis. Program Pascasarjana,  Institut Pertanian Bogor, Bogor


Tidak ada komentar: