PENAMBAHAN
TAUGE KACANG HIJAU (Vigna radiata) DALAM
RANSUM
TERHADAP SIFAT REPRODUKSI MENCIT PUTIH (Mus musculus).
PENDAHULUAN
Mencit merupakan hewan
mengerat berukuran lebih kecil daripada tikus dan sering digunakan sebagai hewan percobaan.
Alasan terpenting digunakannya mencit sebagai
hewan percobaan adalah mencit memiliki kesamaan secara fisiologis dengan hewan lainnya terutama hewan mamalia sehingga
sangat cocok untuk digunakan sebagai hewan penelitian. Keunggulan lainnya
antara lain mudah dalam penanganan, siklus
hidup pendek, pengadaan hewan ini tidak sulit dan pola reproduksinya yang singkat.
Pakan merupakan faktor terpenting
dalam pemeliharaan hewan, karena itu
perlu dilakukan pengembangan untuk
menghasilkan pakan yang lebih efisien. Salah satu cara yang biasa dilakukan untuk mencapai
hal tersebut adalah memodifikasi pakan
dengan penambahan bahan tertentu agar mendapatkan produksi yang optimal. Bahan yang berasal dari alam baik untuk digunakan
sebagai pakan karena jarang menimbulkan
residu di tubuh, namun dapat meningkatkan metabolisme.
Tauge kacang hijau
(Vigna radiata) dipercaya sebagai bahan pangan yang mampu mempertahankan fertilitas pada pejantan. Hal
tersebut terkait dengan kandungan antioksidan vitamin E yang dominan disamping antioksidan
lain seperti vitamin C dan selenium. Antioksidan
berfungsi melindungi sel dari serangan radikal bebas pada saat Spermatogenesis.
TUJUAN
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf penambahan Tauge kacang hijau (Vigna
radiata) dalam ransum terhadap sifat reproduksi mencit, sehingga didapatkan taraf optimum
penggunaannya.
MANFAAT
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia peternakan, dimana Tauge kacang hijau (Vigna radiata) sebagai pakan dapat meningkatkan sifat
reproduksi mencit dan mungkin dapat juga memberikan respon yang sama pada ternak lainnya.
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tauge kacang hijau (Vigna radiata)
Merupakan
kecambah yang berasal dari biji kacang
hijau. Perkecambahan tersebut menyebabkan tauge kacang hijau kaya dengan zat yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Sayuran
yang terbentuk melalui proses perkecambahan
ini ternyata dapat mencegah berbagai macam penyakit dan mampu mempertahankan fertilitas pada individu jantan
(Astawan, 2003). Perubahan bentuk dari biji menjadi
tauge ditujukan untuk diversifikasi produk serta meningkatkan nilai gizi yang
terkandung. Tauge mempunyai vitamin lebih banyak dibandingkan dengan bentuk
bijinya. Selama berkecambah, kadar vitamin B meningkat 2,5 sampai 3 kali lipat.
Demikian juga dengan vitamin E, mengalami peningkatan dari 24-230 mg per 100
gram biji kering menjadi 117-662 mg per 100 gram kecambah. Vitamin C yang tidak
terdapat dalam biji kedelai, mulai terbentuk pada hari pertama berkecambah
hingga mencapai 12 mg per 100 gram setelah 48 jam (Anonim, 2010).
Pemanfaatan tauge
kacang hijau sudah banyak dijumpai pada berbagai makanan karena dipercaya mampu mempertahankan
fertilitas. Kemampuan tersebut berhubungan dengan adanya kandungan vitamin E yang cukup
potensial disamping kandungan zat lainnya
(Astawan, 2003). Mekanisme kerja vitamin E, C dan
selenium dalam menangkal terbentuknya radikal bebas pada membran sel yaitu,
vitamin E sebagai antioksidan utama akan memberikan atom hidrogen secara cepat
ke radikal bebas yang terbentuk pada membran sel. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya radikal
vitamin E yang bersifat stabil. Radikal vitamin
E yang terbentuk diubah oleh vitamin C sehingga menyebabkan terbentuknya
radikal vitamin C yang kemudian oleh selenium melalui induksi glutation
peroksidase akan menetralkan vitamin C di dalam sel (Qauliyah, 2006)
B.
Mencit
(Mus musculus)
Mencit
merupakan hewan yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan terutama dalam penelitian-penelitian
yang dipelihara secara intensif didalam
laborotorium. Menurut Arrington (1972), mencit adalah hewan yang paling banyak (40-80%) digunakan sebagai hewan
percobaan laboratorium. Keunggulan mencit
sebagai hewan percobaan adalah sangat produktif dalam menghasilkan keturunan dan pengelolaannya sangat mudah
karena ukurannya yang kecil. Menurut Moriwaki
et al. (1994), beberapa keunggulan mencit sebagai hewan percobaan adalah siklus hidupnya relatif pendek, jumlah
anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya
tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan mamalia lain.
Menurut
Storer et al. (1979), urutan taksonomi dari mencit adalah termasuk kedalam
Filum Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Genus Mus, Spesies Mus musculus. Menurut Sumantri
(1984), mencit putih memiliki bulu pendek
halus berwarna putih dan ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang
daripada badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda dapat disebabkan perbedaan dalam kondisi proporsi
darah mencit liar dan memiliki kelenturan
pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu, 1996).
C. Sifat Reproduksi Mencit
Mencit
memiliki sifat reproduksi yang tinggi yaitu polyestrus dan mengalami oestrus post partum 14-28 jam setelah partus
yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
produksi anak. Namun, jika induk langsung dikawinkan setelah partus atau beranak maka dapat mengakibatkan
kebuntingan yang lebih lama 3-5 hari daripada
lama kebuntingan sebelumnya dan kebuntingan terjadi pada saat induk masih menyusui anak (Malole dan Pramono,
1989). Faktor lain yang dapat mempengaruhi
sifat reproduksi mencit adalah umur induk. Umur induk merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap jumlah
sel telur dan respon hormon yang dihasilkan
(Sunarti, 1992). Ditambahkan oleh Day et al. (1991), bahwa penurunan fertilitas dan jumlah anak per kelahiran
terjadi pada mencit yang mengalami siklus estrus tidak teratur saat umur setengah tua.
D. Kebutuhan Pakan dan Minum Mencit
Ransum adalah makanan
yang disediakan bagi hewan untuk kebutuhan 24
jam. Pakan seimbang adalah porsi makanan
yang mengandung zat makanan yang cukup
untuk hidup pokok, pertumbuhann dan reproduksi (Anggorodi, 1985). Aktivitas reproduksi membutuhkan energi yang
lebih banyak dan diikuti dengan peningkatan
kebutuhan pakan suatu hewan, begitu pula sebaliknya ketersediaan pakan dapat mempengaruhi proses reproduksi.
McDonalds et al. (1995), berpendapat bahwa
malnutrisi juga berpengaruh pada induk sebab makanan untuk fetus didapatkan dari induk. Jika induk kekurangan
nutrisi untuk calon anak, maka nutrisi itu
akan dirombak dari tubuh induk, karena fetus merupakan prioritas utama untuk penyaluran zat-zat makanan. Apabila hal
tersebut terus terjadi maka kebutuhan nutrisi
calon anak pun menjadi tidak tercukupi dan dapat mengganggu perkembangan fetus.
Malole dan Pramono (1989), menyatakan
bahwa seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi pakan 15 g/100 g bobot
badan/hari, sedangkan mencit membutuhkan pakan berkadar protein diatas 14%. Mencit
bunting atau sedang menyusui akan makan
lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan gizi fetus dan kebutuhan dirinya sendiri. Konsumsi dapat meningkat dengan
semakin meningkatnya berat badan, karena
pada umumnya kapasitas saluran pencernaan akan meningkat pula, sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah yang lebih
banyak. Komposisi zat-zat makanan dalam ransum yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
mencit adalah protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, kadar pati 44- 55%,
kadar serat kasar maksimal 4% dan kadar abu 5-6% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Faktor lainnya yang
juga sangat penting bagi mencit yaitu air
minum. Air minum yang diberikan untuk mencit harus bersih dan selalu tersedia setiap saat ( ad libitum ) karena mencit mudah
sekali kehilangan air dari tubuhnya. Air
minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit per hari berkisar antara 4-8 ml (Malole dan Promono, 1989).
MATERI
DAN METODE
Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April 20123 , di Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro, Semarang
Materi
Hewan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 10 ekor mencit putih (Mus musculus) lepas sapih yang terdiri dari 5
ekor jantan dan 5 ekor betina (dewasa
kelamin) dengan perkiraan bobot badan awal 18-35 g. Peralatan yang digunakan adalah timbangan elektrik dengan
ketelitian 0,01 g, kotak kaca untuk penimbangan
mencit, drum penampung air, botol minum, sikat botol, gunting, sarung tangan, masker, pinset dan alat tulis
sedangkan bahan yang digunakan adalah sekam padi.
Kandang yang digunakan
berukuran 20x20 cm yang berisi 2 ekor jantan dan 2 ekor betina tiap kandangnya,
sedangkan untuk kandang kontrok didisi 2 ekor mencit jantan dan betina. Pakan
yang diberikan adalaha ransum biasa sebagai kontrol sedangkan pada perlakuakn
diberi campuran Tauge kacang hijau (Vigna radiata) dengan kadar 10 % dan 20 %. Dengan asumsi sebagai berikut:
Ransum kontrol ( R1)
Ransum kontrol + penambahan Tauge kacang
hijau (Vigna radiata) 10 % (R2)
Ransum kontrol + penambahan Tauge kacang hijau (Vigna radiata) 20% (R3)
Kemudian Mengamati setiapa hari tingkah
laku reproduksi mencit, dan mengamati kelompok mana yang buntig terlebih
dahulu, penelitian dilakukan selama kurang lebih 35 hari. Serta mengamati
litter size pada kelahiran ditiap kelompok.
MODEL
PERCOBAAN
Rancangan yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh penambahan Tauge kacang hijau (Vigna radiata) pada ransum terhadap sifat reproduksi mencit
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Perlakuan yang diteliti adalah pakan kontrol dengan taraf penambahan ampas Tauge kacang hijau (Vigna
radiata) 10% dan 20 % masing-masing dengan dua ulangan.
Model matematik menurut Walpole (1995) ;
Yij: µ + i + εij
Keterangan :
Yij : respon atas pengaruh pakan ke-i, ulangan
ke-j
µ
: rataan umum
i : pengaruh taraf pemberian Tauge
kacang hijau (Vigna radiata) dalam pakan yang ke-i ; 1=0;
2=3; 3= 6; dan 4 = 9%
εij : galat percobaan ; γ = 1, 2, 3, 4,
5.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa
sidik ragam atau Analysis of Variance
(ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut
( Mattjik dan Sumertejaya, 2002 ).
DAFTAR
PUSTAKA
Anggorodi,
R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Astawan, M. 2003.
Mari Ramai-Ramai Makan Tauge. www.gizi.net. 8 April 2013.
Arrington,
L. R. 1972. Introductory Science Laboratory Animal. The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science.
The Interstate Printers and Publishing,
Inc. New York.
Day,
J. R., P. S. Lapolt, T. H. Morales, and J. K. H. Lu. 1989. An abnormal pattern of embrionic development during early
pregnancy in aging Rats. Biology Reproduction.
41: 933-939.
McDonald, D. P., R. A. Edwards, J. F.
Greendhalgh, and C. A. Morgan. 1995.
Animal
Nutrition. 5th.Edit. Longman Scientific and Technical Copublished
with John Wiley and Sons, Inc., New
york.
Malole,
M.B. dan C.S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi.
Pusat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Moriwaki,
K., T. Shiroishi dan H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Japan
ScientificSocieties Press. Karger, Tokyo.
Nafiu,
L. O. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum berprotein rendah. Tesis. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Qauliyah.2006.Mekanisme
Kerja Beberapa Antioksidan. http://astaqauliyah.blogspot.com. 8 April 2013.
Smith,
B.J. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis.UI-Press,
Jakarta.
Sumantri,
C. 1984. Aspek Genetika Beberapa Sifat Produksi Mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Instituit
Pertanian Bogor, Bogor.
Sunarti.
1992. Pengaruh umur induk terhadap perkembangan awal embrio mencit (Mus musculus albinos) hasil superovulasi.
Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar